"Pergumulan tidak akan pernah sirna, akan tetapi HARAPAN selalu menguatkan manusia untuk menata hidup yang lebih baik."

Terimakasih atas kunjungan anda.

Halaman

~ "Bunda Yasmin"

Titi Yuliaty Mangape
       
          Aku mengenal beliau sebagai sosok yang tegar. Di usian yang semakin senja, kreatifitas dan aktifitasnya tak pernah pudar. Dalam kesendiriannya selaku orang tua tunggal, ia berusaha menjalankan tanggung jawab dengan penuh kesetiaan, loyalitas, dedikasi dan pengabdian bagi anak-anaknya

          Raut wajah yang masih menyisakan kecantikan masa muda, sorot mata yang tajam, senyuman khas dan buah-buah perenungannya melalui coretan penanya-laksana mutiara yang terpendam, selalu menarik langkah kaki ini untuk bertandang ke tempat kediamannya. Perbincangan yang terjalin dengan penuh kasih, diiringi tawa dan canda semakin mempererat relasi yang tercipta."Oma", itulah sapaan akrabku baginya. Sekalipun beliau lebih senang disapa "Bunda", akan tetapi entah mengapa aku diberi hak istimewa untuk menyapanya sesuai keinginanku.
         Suatu ketika, tatkala aku bertanya mengapa banyak orang yang lebih mengenalnya sebagai "Bunda Yasmin", maka mengalirlah cerita di balik pemberian nama itu. Seindah, seputih dan seharum melati, itulah sosok tegar yang selalu memberiku inspirasi dalam berkarya. Katanya, "Wanita, jangan bimbang. Langkahmu jangan diayun surut. Majulah terus dan angkat beban itu, seberapa yang dapat engkau rengkuh. Itulah kodratmu, karena telah diciptakan menjadi makhluk yang lemah, namun dikaruniai pesona keindahan."
         Hal yang paling mengesankan ketika aku bersua dengannya ialah kala kesaksian hidupnya mengalir dari bibirnya. Dengan suara yang kadang tersendat-sendat, dikuatkannya hatinya untuk berbagi perenungan denganku betapa Kasih Sang Ilahi tak pernah pudar dalam hidupnya. Dalam meniti hidup ini, baginya selalu ada Asa tergenggam dalam tangan. Atas seisin beliau, melalui blog ini, kesaksian itu tersaji bagi kita. Kiranya menginspirasi dalam karya dan juang bahwa selalu ada harapan di balik setiap ratapan/pergumulan.

~ Asa di Balik Ratapan

Titi Yuliaty Mangape
Ratapan 3:1-26

“Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya
selalu baru tiap pagi; besar kesetiaanMU”

Indonesia meratap………… bumi pertiwi menangis
Ketika menyaksikan anak bangsa saling bertikai
Timor-Timur lepas dari pangkuan sang bunda
Aceh bergolak, Maluku tercabik-cabik
Papua bertikai, Poso luluh lantak
Indonesia meratap, tiada lagi harapan


           Banyak orang pesimis, akankah hasil PEMILU capres dan cawapres membawa nuansa baru bagi bangsa ini? Muncullah berbagai ungkapan, “ Siapapun yang memerintah, takkan mampu mengubah keadaan.” “Siapa pun yang terpilih pastilah hanya akan memperhatikan kepeningan pribadi dan golongan/kelompoknya.”
Orang-orang, sudah trauma dengan kenyataan-kenyataan selama ini, sehingga bagi mereka proses pemilihan wakil-wakil rakyat atau pesta demorasi hanyalah pemborosan belaka. Reaksi terhadap ketidakadilan dan berbagai ketimpangan sosial yang terjadi dalam masyarakat muncul dalam berbagai bentuk. Demonstarsi terjadi di mana-mana. Rakyat sudah jenuh dengan janji-janji manis sebatas pemanis bibir belaka, yang tidak pernah menjadi kenyataan dan itu membuat banyak orang kehilangan harapan.
          Saudara-saudarayang dikasihi Tuhan…………
Situasi yang menyebabkan umat Israel meratap pilu, yang terangkai lewat syair-syair Ratapan, masih jauh lebih pahit dibandingkan dengan keadaan yang dihadapi oleh bangsa ini. Akan ttp toh, dalam situasi seperti itu, ternyata masih ada orang yang tetap yakin pada kasih setia Tuhan. Secara keseluruhan, Kitab Ratapan menyaksikan tentang ungkapan syair-syair umat Yehuda dalam menghadapi beratnya tekanan penderitaan dan cengkeraman kuasa maut karena peristiwa kehancuran Yerusalem. Dilukiskan betapa beratnya penghukuman karena dosa yang dialami umatNya ketika itu. Pun betapa mereka sadar bahwa ketika Tuhan murka, maka tdk ada seorang jua yang dapat luput dan selamat. Dalam menghadapi situasi yang memilukan dan menyayat hati itu, penulis menghimbau bangsanya agar mereka sadar, mengakui akan dosa dan pemberontakannya, serta bertobat dan memohon dengan penuh pengharapan akan pengampunan dan pembebasan dari Tuhan.

Nas perenungan kita, “Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmatNya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaanMU
“tak berkesudahan” artinya kasih setia Tuhan tiada batasnya; tiada berubah dahulu, sekarang bahkan sampai selama-lamanya (bdk Ibrani 13:8)
“tak berkesudahan”, merupakan puncak pengharapan dan keyakinan penulis bahwa betapa pun hancurnya kehidupan karena dosa, betapapun seseorang telah kehilangan asa atau harapan karena pahitnya kenyataan hidup yang tak kunjung berakhir, haruslah ia datang bersandar kepada Allah karena rahmat dan kesetiaanNya jauh melebihi segala penderitaan yang mereka alami. Bahkan rahmat itu, selalu baru tiap pagi. Karena itu, dengan iman yang teguh, penulis terus mengingatkan mereka bahwa sekalipun keadaan Yehuda sudah sangat buruk, akan tetapi harapan tidaklah berarti pupus, sebab kesetiaan Allah menjadi satu-satunya alasan untuk tetap bersukacita di tengah-tengah bencana cambuk murkaNya yang menimpa mereka. Hal ini juga diyakini dan disaksikan oleh pemazmur bahwa Allah tidaklah pendendam. “Tidak dilakukanNya kepada kita setimpal dengan dosa kita dan tidak dibalasnya kepada kita setimpal dengan kesalahan kita” (Maz 103:10); Ia bahkan menjauhkan kita dari segala pelanggaran kita: “Sejauh Timur dari Barat, demikian diajuhkanNya dari pada kita pelanggaran kita “(Maz 103:12). Artinya Ia penuh kasih dan pengampunan. Oleh karena itu umatNya jangan pernah putus asa untuk berharap padaNya.
           Bentuk keyakinan dan kekaguman tentang kesetiaan Allah di tengah-tengah penderitaan dan tekanan hidup yang semakin mengancam kehidupan mereka, nampak jelas dalam ungkapan, “Sangkaku:hilang lenyaplah kemasyuranku dan harapanku kepada Tuhan.” “Sangkaku”, menunjukkan pengakuan penulis bahwa pikirannya tentang sikap Allah dalam menghukum mereka ternyata keliru, sebab Allah tidak untuk selamanya menghukum mereka. Di balik penghukuman itu, Allah bermaksud mendidik umatNya. Ia bahkan menjanjikan, sekaligus menjadikan janji itu sebagai suatu kenyataan yang disaksikan dan dialami sendiri umatNya, termasuk penulis.
Sangkaku” , suatu ungkapan yang juga menunjukkan gambaran akan betapa terbatasnya pemikiran manusia terhadap rancangan-rancangan Allah. Padahal, ia (penulis kitab Ratapan), termasuk orang yang melihat bahkan mengalami sendiri sengsara yang disebabkan cambuk murkaNya. Ia dihalau dan dibawa ke dalam kegelapan yang tiada terangnya, dipukul berulang-ulang sepanjang hari, menjadikan ia tertawaan bagi segenap bangsanya, menjadi lagu ejekan sepanjang hari. Tidak berhenti sampai di situ, Allah bahkan mengenyangkan dia dengan kepahitan, memberi dia minum ipuh, meremukkan giginya dengan kerikil sehingga lupa akan kebahagiaan. Ketika ia memanggil dan berteriak minta tolong, Tuhan tidak mendengar doanya. Namun, kini, sepahit apa pun penderitaan yang pernah dialaminya, tidak menyusutkan imannya untuk tetap berharap kepada Tuhan. Ia yakin bahwa Tuhan pasti mengingat kesengsaraan, pengembaraan, akan ipuh dan racun sebagai gambaran penderitaan yang tiada taranya yang pernah dialaminya. Pengalaman-pengalaman pahit itu haruslah menempa dan mendidik mereka untuk kembali menjadi umat Allah yang setia. Sekaligus menyadari bahwa penghukuman itu adalah akibat dari dosa-dosa mereka. Karena itu ia tiada henti menyerukan kepada bangsanya agar tetap kuat dan senantiasa berharap pada kasih setia dan rahmatTuhan yang tiada habisnya bahkan sll baru setiap pagi. Ia meyakinkan umatNya tentang kebaikan Allah dan karena itu mereka harus diam menanti pertolongan TUHAN. “menanti denga diam” artinya sabar dan setia sekalipun banyak tantangan yang harus dihadapi. Sebab dalam persoalan hidup sepahit apapun, Tuhan pasti menolong kita (bdk Mz 62:9; 86:7).
         Sidang jemaat yang kekasih dalam Tuhan……..
Dengan penuh kasih, kesetiaan dan pengampunan, Allah telah menjanjikan sekaligus menjadikan janji itu menjadi kenyataan yang disaksikan dan dialami sendiri oleh umatNya. Itu berarti, selaku anak bangsa yang mungkin telah mengalami berbagai ketidakadilan, kita pun tidak boleh berputus asa. Melainkan sebagaimana penulis Ratapan, maka kita juga harus “diam menanti pertolongan Tuhan”. Keyakinan dan keteguhan iman penulis haruslah juga menjadi keyakinan kita. Bahwa di tengah-tengah penderitaan yang dialami umatNya, masih ada orang yang tidak kehilangan harapan. Sebab ia yakin, Allah mereka tidak akan pernah kalah.
         Saudara.........
Dalam kehidupan berjemaat pun, banyak hal yang sering membuat kita berputus asa. Kiranya melalui Firman Tuhan ini, kita dikuatkan dan diyakinkan bahwa “Sesungguhnya tangan Tuhan tidak kurang panjang untuk menyelamatkan dan pendengaranNya tidak kurang tajam untuk mendengar”(Yes 51:1) . Di balik ratapan, kelush-kesah dan pergumulan kita menghadapi realitas skehidupan ini, selaku warga negara Indonesia dan selaku warga jemaat haruslah ada asa dengan keyakinan Dia pasti menjawab doa dan harapan-harapan kita.
Di tengah penderitaan dan tekanan hidup yang kian mengancam, Kristus hadir mewartakan kerajaan Allah, mewartakan dan mewujudkan karya penyelamataanNya. Tidak hanya masa lalu dan masa sekarang akan tetapi justru berkat-berkatNya selalu baru setiap pagi tersedia untuk kehidupan kita di masa yang akan datang. Itu berarti kita harus yakin bahwa di tengah-tengah situasi hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia tercinta ini, kasih yang dahulu telah dinyatakan Allah kepada bangsa Israel, kini dan ke depan pasti akan dinyatakan pula oleh Allah kepada kita. Dengan pengharapan dan jaminan keselamatan dalam Yesus Kristus, tidak ada yang perlu dikuatirkan lagi.
Tema kita, “Asa di Balik Ratapan” memberikan kita kekuatan dan harapan bahwa di balik berbagai persolan hidup, Kristus hadir bahkan setiap saat siap menolong orang-orang yang berseru kepadaNya. Melalui kuasa Roh Kudus, Ia menguatkan orang-orang yang bergumul, meratap, berduka ….
Kenyataan di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara yang menyengsarakan, berbagai pengalam pahit mendukacitakan, tentu membutuhkan pertolongan. Harapan kita satu-satunya ahanya satu yaitu Kasih Allah. Kita percaya bahwa hanya dekat Dia saja kita tenag (Mz 62). Dalam semua itu kita harus bertobat, lalu datang dengan penuh kerendahan hati kepadaNya
          Jemaat Tuhan………..
Hanya degan iman yang sungguh kepada Kristus, kita akan dimampukan untuk melihat berbagai realitas hidup, baik suka maupun duka sebagai sesuatu yang tidak terjadi dengan sendirinya. Sebab seantero kehidupan kita adalah milikNya (bdk. Luk 21:17-19). Karena itu, setiap orang haruslah bertobat dan “diam menanti pertolonganNya”. AMIN

"Disusun dalam rangka pemeriksaan ajaran dan perihidup proponen Yuliaty Mangape di Gereja Toraja Jemaat Bawakaraeng-Klasis Makassar, Sabtu, 31 Juli 2004. (Dalam banyak keterbatasan).


~ Rutan

Titi Yuliaty Mangape

Medio, Nop 2007

          Pengalaman yang sangat berharga seringkali datang tanpa disadari. Tak pernah terbersit, bahwa perkunjungan kami ke Rutan, akan
 menyisahkan perenungan tersendiri bagiku. Berawal dari ngantarin teman menjenguk suaminya. Aku menyaksikan sisi lain kehidupan dari para narapidana. Klo soal yang “satu itu” kupikir bukan rahasia umum lagi. Akan tetapi yang "satu ini", mungkin luput dari pengamatan banyak orang, ataukah orang berkata “ah itu mah biasa.” Namun demikian, bagi aku sendiri, itu luar biasa. (Mungkinkah karena aku baru pertama kali berkunjung ke Rutan?)
          Kami tiba di lokasi kira-kira pukul 09.00 WITA.
Setelah pemeriksaan Kartu identitas diri dalam hal ini KTP, kami dibukakan pintu I. Di pintu ke II, kami diberi tanda pengenal pengunjung dan dipersilahkan untuk menitipkan HP. Pintu ke III giliran bawaan yang diperiksa beserta seluruh badan. Dalam tas teman aku, didapatin sebuah gunting yang secara tidak sengaja terbawa dari gereja tadi. Tentu saja gunting itu disita. Aku sendiri diperiksa seluruh badan oleh seorang petugas wanita (iiihh, geli juga dipegang-pegang). Barulah sesudah itu kami diperkenankan menunggu di ruang tunggu.
          Sembari menunggu suami teman yang dijemput petugas, iseng-iseng, aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan tunggu yang tidak terlalu besar itu. Mataku menangkap
berbagai pola tingkah laku manusia. Di pojok sana, seorang ibu bermesraan dengan suaminya. Di pojok sini hal yang sama terjadi. Di tempat lainpun demikian adanya. Tanpa malu dan tanpa sungkan. Adakah mereka meluapkan kerinduan??? Walahualam. Tiba-tiba terdengar isak-tangis tertahan, tidak jauh dari tempat kami duduk bersama suami teman yang sudah datang. Di tengah kebingunganku, suami teman nyeletuk, “Itu bukan istrinya, tetapi……” Ha?! Saat kulirik kembali, mereka sudah bermesraan lagi. Ck, ck, ck, aneh!? Beberapa meter di hadapan kami, orang-orang duduk melantai dengan santai dan makan bersama. (Mengingatkan aku akan suasana piknik). Ketika kutanya soal itu, kata suami temanku, “Soalnya klo dibawa masuk bilik, bungkusnya belum dibuka, sudah habis diserbu.”
          Di sisi lain aku melihat seorang ayah dengan serius menasehati putrinya. Hal yang sama dilakukan pula oleh seorang ibu kepada putranya yang kebetulan duduk sebangku. Dan banyak hal lain lagi yang tertangkap oleh indra penglihatan. Belum sempat terurai satu persatu, lonceng tanda berakhir jam besuk, berbunyi. Kami pulang dengan membawa beberapa bingkai foto karya suami teman. Saat keluar dati ruang tunggu, berdiri beberap orang yang berpakaian putih. Ternyata mereka adalah orang-orang yang perkaranya akan disidangkan hari itu.
Setelah mengambil HP di tempat penitipan barang dan mengembalikan tanda pengenal, kami kembali ke mobil dan terus ke gereja. Dalam benak masih muncul berbagai pertanyaan di seputar sekelumit realitas yang baru saja aku saksikan. Yang paling kuat tertanam dalam adalah sorotan mata mereka, ada ASA terpancar dari sana. Aku teringat kata-kata Pdt Rasid Rachman melalui tulisannya dalam Bahana beberapa tahun lalu, “SPIRITUALITAS BUKANLAH SETUMPUK TEORI MELAINKAN PERBUATAN BERMAKNA BAGI ORANG LAIN.” Ah, mungkinkah mereka juga sedang menantikan perbuatan bermakna dari kita? ASA.