"Pergumulan tidak akan pernah sirna, akan tetapi HARAPAN selalu menguatkan manusia untuk menata hidup yang lebih baik."

Terimakasih atas kunjungan anda.

Halaman

Tampilkan postingan dengan label Nuansa Kesaksian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nuansa Kesaksian. Tampilkan semua postingan

~ Setahun telah berlalu

Pagi ini tepatnya, Rabu, 28 Okt 2009 aku bangun lebih awal dari biasanya. Sembari menyiapkan sarapan ke tiga cahaya hatiku (Si sulung sudah di Malang), aku mulai menyusun catatan-catatan kecil dlm benakku, hal-hal yang harus kulakukan hari ini. Kuseruput secangkir teh, untuk menghangatkan badanku dari dinginnya desiran angin pagi. Sayup terdengar lantunan lagu Koes Plus:"...... setahun telah berlalu....."

Setahun telah berlalu ....... Ya! Aku tertegun dan terhenyak. Tertegun bukan karena .....kau putuskan cintaku.... seperti kata Koes Plus dalam tembangnya ini, akan tetapi, karena setahun telah berlalu vonis dokter itu jatuh kepada cahaya hatiku. Vonis yang membuat seluruh kedirianku gamang kala itu. Tiba-tiba saja anganku melayang ke "belakang". Masih tersimpan rapi dalam memori, ketika team dokter di NUH memberikan simpulan akhir :
"Jika kretininnya stabil di level 582-700 umol/L maka kemungkinan fungsi ginjalnya masih bisa bertahan 6 bulan ke depan. Tetapi jika kreatininnya semakin naik, maka waktu untuk bertahannya pun semakin berkurang.Tidak ada lagi cara/metode lain selain cuci darah. Alternatif lain adalah transplantasi. Hati gundah dan sedih, perih dan pilu. Apakah gerangan yg dapat kulakukan?

Setahun telah berlalu.... Ya! hari ini, tepat setahun.
Secangkir teh hangat tak mampu mengusir hawa dingin, pagi ini. Aurima pun tak dapat memberiku kehangatan. Rasanya badanku semakin gemetar ketika satu per satu rangkaian peristiwa sakitnya cahaya hatiku sampai pada vonis dokter, mampir di benakku. Bak sebuah film yang berputar kembali. Slide per slide satu-satu bermunculan, menyentuh nadi hidupku. Menggigil dalam luapan rasa yang tidak terbendung.... Ketika kusadari sang Tabib yang Agung tetap berperkara dalam diri cahaya hatiku.

Trimakasih Tabibku. Aku tahu Engkau tidak tinggal diam. Kau beri waktu dan kesempatan bagi cahaya hatiku, lebih dari yang dipikirkan manusia. Menghirup nafas kehidupan, menjalani hari-hari yang Kau rajut baginya. Rasanya, naif jika aku bertanya sampai kapan? Sebab itu adalah hak dan wewenangMU. Yang ku amini dan ku imani ialah bahwa Engkau turut bekerja dan berp[erkara untuk mendatangkan kebaikan bagi cahaya hatiku.

~ Sang Penjaga


Sore itu, angin bertiup agak kencang. Kilat menyambar-nyambar di tengah gelegar sang guntur. Kulirik jam tanganku, astaga, hampir magrib. Kupercepat ayun langkahku. Sebentar lagi aku akan melewati pohon itu. Degup jantungku kian terasa, darahku berdesir dan seluruh bulu kudukku berdiri. Aku merinding. Memang bukan rahasia umum lagi tentang keberadaan pohon itu. Sebenarnya pohonnya sendiri tidaklah masalah. Hanyalah sebatang pohon sukun yamng sudah tua. Tetapi cerita yang berkembang di seputar pohon itu, tak ayal membuat aku ketar-ketir.


Maklum saja, menurut bisik-bisik tetangga, konon pohon itu terkenal angker. Banyak penjaga di sekelilingnya. Makhluk-makhluk halus sejenis tuyul, kuntilanak, jin, wewe gombel dan lain-lain berkeliaran di tempat itu. Mungkin karena tumbuhnya di lokasi ex BKIA, maka makin berkembanglah ceritanya. Masih kata mereka, yang banyak "berkeliaran" di seputar pohon itu adalah kuntilanak yang berwujud seorang ibu (iiiihhhhh...). Kadang-kadang pula terdengar tangisan bayi atau seorang wanita yang terisak-isak, walau tak ada siapa-siapa di sana.


Kutatap ke atas, mega hitam, kian menggelayut, seakan tak kuat lagi menyanggah tubuhnya. Sepertinya, ia ingin segera menghempaskannya ke mayapada ini, agar bebannya menjadi ringan. Sang dewi malampun tak mau menampakkan paras eloknya. Kuayunkan langkahku secepat aku bisa. Upss, akhirnya tiba juga di rumah. Aku menghembuskan nafasku kuat-kuat. Seakan-akan dengan melakukan itu, beban ketakutannku turut terhembus.


Di luar sana, desiran angin kian kencang; ditingkahi kilatan kilat yang menyambar-nyambar. Dan byuuurr.... hujanpun turun dengan derasnya. Aku meneguk segelas air hangat. Gluk...gluk...gluk..., ah, tubuhku kembali menghangat. Ketakutan-ketakutanku, pulih sudah. Bayangan sang penjaga perlahan-lahan berlalu.


Peristiwa ini, hanyalah cerita masa kecilku 25 tahun yang lalu di kampung halamanku. Sebuah kota kecil di atas ketinggian.
Sekarang, jika aku berjalan melewati pohon itu, aku tak takut lagi. Bukan karena aku sudah "besar" dan tinggal di kota pula, namun karena penjaga-penjaganya sekarang sudah semakin hebat. Jika dulu dalam benakku, penjaga-penjaga itu bertampang sangar dan mengerikan, maka sekarang tampang-tampang mereka justru keren habis. Pintar-pintar pula. Menebar pesona, kepada siapa saja yang melewatinya. Dengan senyuman khas masing-masing, mereka betah menjadi sang penjaga. Ya... senyum-senyum calon legislatif.

Tetapi itu tidak penting bagiku. Yang lebih penting dan lebih utama, mengapa sekarang aku tak takut lagi ketika berjalan melewati rindang dan lebatnya ataupun kering dan kerontangnya "pepohonan hidup" ini. Karena aku mempunyai "Penjagaku" sendiri. Aku tahu, Ia takkan membiarkan kakiku goyah, dan Iapun tidak akan terlelap menjagaiku. Ia setia menjaga keluar masukku dari sekarang sampai selama-lamanya (Mazmur 121 :1-8). Trimakasih "Sang Penjagaku." Amin

~ Sepenggal Asa Kugenggam dalam Hidupku

Bunda Yasmin
 
         Hari ini, aku ada janji menjenguk keluarga yang sedang sakit. Aku berupaya selesai menata diri sebelum jemputan tiba. Tepat waktu, sebuah Honda New Accord-dark blue metalik berhenti sejenak di halaman depan rumahku. Tak lama kemudian kami segera meluncur. Senang mempunyai teman yang menghargai waktu dan tidak membiarkan perasaan orang lain dihinggapi rasa bosan menanti. Ya itulah hidup
        Kami lama berbincang-bindang di teras Rumah sakit, sambil berusaha menghibur hati keluarga yang ada di sana. Di teras paviliun tempat tempat kami duduk, banyak kembang-kembang soka tumbuh dengan subur. Indahnya kembang soka ini, bunganya merah menyala, tersembul dari antara daun-daun hijau tua nan mengkilat tertimpa cahaya sang surya. Aku tercenung beberapa saat menikmati keindahan bunga-bunga ini. Sejenak anganku melayang pada suamiku yang telah lama kembali ke pangkuan Tuhan. Ia sangat menyukai kembang-kembang soka, apalagi jenis hibrida seperti di taman itu. Warnanyapun sangat disenanginya, baik itu warna kuning emas, salem dan putih. Kala rutinitas dan pekerjaanya di kantor telah selesai dan ia kembali ke rumah, pertama-tama yang disapanya adalah bunga-bunga itu.  Tetapi, ah.... itu telah lama berlalu.
       Tanpa terasa, air mataku jatuh membasahi pipiku yang mulai keriput seirama dengan bertambahnya usia. Kupalingkan wajahku ke arah lain, agar air mata ini tak mengundang tanya pada keluarga. kemudian kutatap dengan tenang kamar perawatan di mana sosok seorang laki-laki tegap dan tampan yang pernah kukenal dan menjadi pautan hati seorang wanita ramah, terbaring lemah. Pasangan serasi ini adalah sejoli yang dipertautkan di dalam pelayanan kasih di Ladang Tuhan, jauh di negeri orang. Pria yang ramah dan tekun dalam panggilannya, yang juga adalah seorang suami yang sangat mencintai dan menyayangi istri dan anak-anaknya, kini terbaring tak berdaya.
        Tuhan yang mempunyai kasih dan rencana. Dia pulalah yang sanggup untuk menyembuhkan. Sebab tidak ada yang mustahil bagiNya. Dalam tanganNya, "nasib" manusia tergenggam. Kita boleh menangguk harapan, serta membawa kepadaNya asa dan doa semoga Tuhan berkenan mendengarnya dan memberikan kesembuhan baginya.
        Segetir apapun rasa hati ini, aku memaksakan diri untuk berdiri di samping ranjang tempatnya berbaring. Kuraih tangan kurus itu, sembari menahan sekuat hati air mataku. Aku berdoa secara perlahan memohon Kasih sayang Bapa Sorgawi, "Sembuhkanlah dia ya Tuhan"
       Hampir 13 tahun yang lalu, hal yang sama pernah kualami. Orang yang aku cintai bersama dengan anak-anakku, menjalani perawatan yang cukup serius dan intensif serta lama. Keadaan fisik suamiku saat itu persis sama dengan sosok yang terbaring di depanku sekarang ini.
Sepanjang kami mendampinginya, tak putus-putusnya kasih dan bimbingan Tuhan menopang kami. Saya dan anak-anak diberi kekuatan serta ketabahan menjalani semuanya, hingga tiba saatnya panggilan kasih Tuhan itu datang. Aku melihat, merasakan betapa kuasa dan kasih sayangNya, nyata memantauku, memegangku dengan erat hingga aku kuat menerima kenyataan itu. Aku Pasrah. Yang paling indah di mata orang-orang yang menyaksikan mujizat ini adalah ketika Tuhan memberiku kekuatan yang luar biasa untuk melepaskan suamiku dan menyerahkannya melalui doa kepada Bapa di sorga. Apa yang aku ucapkan kala itu, mengalir begitu saja, karena lidahku dipandu Roh Kudus. Di pangkuan anak kami dan di samping pembaringannya aku duduk.  Dikelilingi  sanak saudara dan handai taulan, ku lepas kepergianya dengan berkata, "Anak Tuhan jangan takut kembali kepada Bapa di surga, karena Tuhan Yesus dengan malaikatNya sudah menanti di pintu surga. Di sana pulalah, kita kan bertemu kembali." Andai pintu bibir ini tidak diberkati Tuhan, mana mungkin aku dapat mengucapkan semua kata-kata itu. Mujizat Tuhan yang sangat indah kami terima untuk melepaskan beliau ke rumah Bapa di Sorga.
          Sekian tahun bimbinganNya, pasca ditinggalkan suami terkasih, terus-menerus nyata dalam hidupku dan anak-anakku. Ku selalu berseru"Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmatNya, selalu baru tiap pagi, besar kesetiaanMu" (Ratapan 3:22-23). Terpujilah namaNya dan biarlah hatiku selalu riang memujiNya di sepanjang sisa usiaku.
Dalam harapku, aku selalu berseru kepadaNya, "Semoga suatu kali kelak tunas-tunas indah dan bernas, akan tumbuh dari rumpun keluarga sederhana ini serta berbuah nan lebat." Aku sungguh meyakini bahwa Dia, tiada pernah terlambat memberi pada orang-orang yang meyakini kuasaNya. Sebab," sesungguhnya tangan Tuhan tidak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaranNya tidak kurang tajam untuk mendengar"(Yes 59:1)
Ke dalam tanganNyalah kutaruhkan harapanku. Asa.


~ "Bunda Yasmin"

Titi Yuliaty Mangape
       
          Aku mengenal beliau sebagai sosok yang tegar. Di usian yang semakin senja, kreatifitas dan aktifitasnya tak pernah pudar. Dalam kesendiriannya selaku orang tua tunggal, ia berusaha menjalankan tanggung jawab dengan penuh kesetiaan, loyalitas, dedikasi dan pengabdian bagi anak-anaknya

          Raut wajah yang masih menyisakan kecantikan masa muda, sorot mata yang tajam, senyuman khas dan buah-buah perenungannya melalui coretan penanya-laksana mutiara yang terpendam, selalu menarik langkah kaki ini untuk bertandang ke tempat kediamannya. Perbincangan yang terjalin dengan penuh kasih, diiringi tawa dan canda semakin mempererat relasi yang tercipta."Oma", itulah sapaan akrabku baginya. Sekalipun beliau lebih senang disapa "Bunda", akan tetapi entah mengapa aku diberi hak istimewa untuk menyapanya sesuai keinginanku.
         Suatu ketika, tatkala aku bertanya mengapa banyak orang yang lebih mengenalnya sebagai "Bunda Yasmin", maka mengalirlah cerita di balik pemberian nama itu. Seindah, seputih dan seharum melati, itulah sosok tegar yang selalu memberiku inspirasi dalam berkarya. Katanya, "Wanita, jangan bimbang. Langkahmu jangan diayun surut. Majulah terus dan angkat beban itu, seberapa yang dapat engkau rengkuh. Itulah kodratmu, karena telah diciptakan menjadi makhluk yang lemah, namun dikaruniai pesona keindahan."
         Hal yang paling mengesankan ketika aku bersua dengannya ialah kala kesaksian hidupnya mengalir dari bibirnya. Dengan suara yang kadang tersendat-sendat, dikuatkannya hatinya untuk berbagi perenungan denganku betapa Kasih Sang Ilahi tak pernah pudar dalam hidupnya. Dalam meniti hidup ini, baginya selalu ada Asa tergenggam dalam tangan. Atas seisin beliau, melalui blog ini, kesaksian itu tersaji bagi kita. Kiranya menginspirasi dalam karya dan juang bahwa selalu ada harapan di balik setiap ratapan/pergumulan.