"Pergumulan tidak akan pernah sirna, akan tetapi HARAPAN selalu menguatkan manusia untuk menata hidup yang lebih baik."

Terimakasih atas kunjungan anda.

Halaman

Tampilkan postingan dengan label Nuansa Refleksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nuansa Refleksi. Tampilkan semua postingan

Pagi ini.....

By: Titi Yuliaty M

Aurima pagi menyapa.
Aku harus siap-siap
Putri kecilku akan menjalani pengangkatan tonsil
Tonsil yang tidak lagi bermanfaat baginya.
Tonsil yang membengkak, menyebabkan aliran oksigen agak terhambat
Menyebabkan cairan menumpuk di belakang gendang telinganya
Akibatnya, fungsi pendengaran putri kecilku terganggu

Pagi ini rencana dokter Fajar akan melakukan tindakan medis
Dua tindakan dalam satu waktu.
Pertama adalah pengangkatan tonsil
Kedua adalah penyedotan cairan dan pemasangan Gromet di belakang gendang telinganya

Sedikit "keributan" kecil terjadi ketika si stesolit 5mg disuntikkan
Mungkin karena sejak semalam sdh berpantang minum dan makan, maka pagi ini sedikit sensi
Namun akhirnya stesolit bisa bekerja
Harapku, semua kan berjalan dengan baik. Karena DIA

ISTI & ISTIKOMAH


"Papiiiiiiii....! Dengan mata mendelik dan suara yg membahana, maminya Carla menarik tangan suaminya yg sedang duduk maniezt di ruang tamu rumah Tante Pretty. Tak ayal , tuan rumah terkejut tetapi si mami tidak peduli. Dengan sekali hentakan si papi diseret keluar dan tanpa babibu, tangan mami sdh mendarat di pinggang papi ...... Di tempat lain, Pak RT keberatang menggunakan kaos oblong apalagi untuk mengantar undangan kepd kaum bapak di dalam kompleks, namun tak kuasa menolak ketika sang istri bertitah.
Ini hanyalah cuplikan adegan salah satu episode dalam sinetron "Suami-suami Takut Istri" yg disiarkan oleh sebuah stasiun TV Swasta.

Ada rasa geli, tetapi juga rasa kasihan. Apa iya. Masak sich di era millenium spt sekarang ini, kejadian-kejadian seperti itu masih ada? Apakah ini yang disebut jaman edan?
Aku lalu teringat 2 istilah yang yang kudapat ketika masih berkutat di kampus merahkunenerapa tahun lalu. ISTI dan ISTIKOMAH. ISTI adalah singkatan dari Ikatan Suami Takut Istri. Sedangkan ISTIKOMAH adalah Ikatan Suami Takut Istri Kalau di Rumah. :)
Dulu aku ber pikir, akh mungkin itu hanyalah peristilahan belaka. Apalagi memang, prof guru mengatakan, hal tersebut biasanya dilakukan karena rasa hormat dan cinta pada pendamping mereka (istri). Tetapi itu dulu, sebelum aku melakukan pengamatan langsung. (Wealah, seperti mau nyusun thesisi aja ^_^).

Dalam survey kecil-kecilan itu, aku kemudian menyadari, bahwa hal ini, bukan hanya terjadi dalam sinetron. Dalam kehidupan nyatapun, itu nampak. Swear! dan bisa menimpa siapapun, entah itu saudara, tetangga, dosen, atasan kita dan lain-lain. Beberapa temanku bahkan , mengalami hal yg sama. Mereka sepertinya benar2 tunduk di bawah perintah dan selalu berada di dalam pantauan dan Pengawasan Melekat alias WasKat pasangan (istri) mereka. Telepon tak pernah berhenti berdering. Sebentar-sebentar ada instruksi via telepon. Mulai dari pertanyaan posisi mereka, raport dan seragam anak, belanja dapur dan berbagai hal remeh temeh yang lain. Semuanya dalam nada perintah! Adapula yg dipepet atau dikawal kemanapun dia pergi, laiknya perangko dan kertas. Lengket terus. Bahkan ada yang harus mematuhi jam malam. Awalnya kupikir, ah, mungkin demikianlah pola pengasuhan dan pembinaan dalam rumah tangga mereka yang pasti sudah disepakati bersama. Akan tetapi setelah mendengar pengakuan dan keterusterangan mereka, aku berkesimpulan bahwa ternyata, itu bukan sinetron. Sebetulnya miris juga, but it's real.

Dominasi dan rasa superior pasangannya, akhirnya membuat para pria/suami menanggapinya dengan berbagai cara pula. Ada yang sudah merasa kudu nyaman, sehingga atas nama CINTA & keharmonisan keluarga (apalagi yang memang menikah keluarga), mereka tetap membeo, seperti kerbau dicocok hidung, dibawa kemanapun ikut saja. Ada yang akhirnya menjadi JARUMSUPER, Jarang di Rumah Suka Pergi. Dan ada yang mengantisipasinya dengan benar-benar Jaga Image. Tidak heran jika kemudian muncul peristilahan baru bagi istri-istri mereka seperti: Komandan, Polisi, Perdana Mentri, Menkeu, Agan (Juragan Istri). Untuk jam malam misalnya, mereka berucap: Visa dari Perdana Mentri (istri) hanya sampaji jam 21.00. Untuk tugas antar anak-istri disebutnya Ternak Teri... Uphss

MENGAPA SUAMI TAKUT ISTRI? Mengutip ungkapan Mariska Lubis, pemerhati di bidang relationship. sekaligus penulis buku Wahai pemimpin bangsa!!! Belajar dari SEKS Dong!!! dalam percakapannya dengan C. Gumilang (Femina No. 37/XXXVIII), mengatakan bahwa ternyata: "Kebanyakan, kasus suami takut istri disebabkan OLEH faktor ekonomi.".... O'oooh!.... Masih katanya "Sekarang ini lagi musim pria yang mencari wanita dengan status soaial-ekonomi yang sama atau bahkan lebih tinggi. Maksudnya, si wanitanya yang lebih kaya, strata sosialnya lebih tinggi. Kenapa? Karena pria moderen sekarang, ingin hidup lebih enak dan nyaman. Di sisi lain, ada pasangan yang membantu ekonomi mereka, atau katakanlah membantu membayar cicilan mobil, rumah dll'. ...."Faktor yang tak kalah penting pengaruhnya adalah jenjang pendidikan yang seringkali membawa wanita merasa lebih, dalam hal pemikiran. Lalu ada juga feminisme yang salah kapra, ketika wanita merasa menjadi mahluk yang lebih unggul dari pria. Mereka merasa mampu hidup tanpa pria. "

Apakah pria atau para suami itu benar-benar takut, segan atau sekedar malas menanggapi perilaku, dominasi dan superioritas istri mereka?
Menurut Mariska: "Bisa begitu, tetapi kebanyakan justru karena merasa minder atas ketidakmampuan diri, sehingga rasa percaya diri mereka turun. Apalagi mereka takut tidak mendapatkan apa yang bisa mereka dapatkan atau takut kehilangan istri, anak, nama baik atau apapun bentuknya. Para pria atau suami tersebut, kemudian membiarkan istrinya mendominasi."

Aku lalu teringat amanah dalam Kitab Suci yang berkata: "Hai istri-istri tunduklah kepada suami, sebagaimana seharusnya, di dalam Tuhan. " (Kol 3:18). Artinya tunduk tetapi tidak menanduk... lalu dilanjutkan kemudian:" Hai suami-suami kasihilah istrimu dan jangan berlaku kasar terhadap dia"(Kol3:19)...dari ants ini nampak bahwa konsekuensi logis dari ketaatan istri (tunduk) ialah mereka HARUS menerima kasih yang utuh dari suami. Bukan kasih yang terbagi-bagi (kepada perempuan lain, red). Di sini letak persoalannya. Sebab banyak orang yang berkata dengan spontan, lantang: "kasih, mah utuh, orang istri hanya satu koq",.... namun dilanjutkan dengan berbisik: " Tetapi yang tak resmi, yang berbaris di belakang juga mesti dapat......." Wealaahh, Pak! Pak!
Aku tercenung. Merenung dan mencari jawab di antara berjuta tanya: Adakah amanah ini, tidak lagi berlaku di jaman yang edan yang katanya serba moderan? Wallahualam.

Oh ya, ngomong-ngomong, tahu gak kalau hasil penelitian Mariska Lubis menunjukkan bahwa "Kebanyakan dari anggota ISTI & ISTIKOMAH itu memiliki kecenderungan untuk selingkuh." ... Nah Lho....

~ Setahun telah berlalu

Pagi ini tepatnya, Rabu, 28 Okt 2009 aku bangun lebih awal dari biasanya. Sembari menyiapkan sarapan ke tiga cahaya hatiku (Si sulung sudah di Malang), aku mulai menyusun catatan-catatan kecil dlm benakku, hal-hal yang harus kulakukan hari ini. Kuseruput secangkir teh, untuk menghangatkan badanku dari dinginnya desiran angin pagi. Sayup terdengar lantunan lagu Koes Plus:"...... setahun telah berlalu....."

Setahun telah berlalu ....... Ya! Aku tertegun dan terhenyak. Tertegun bukan karena .....kau putuskan cintaku.... seperti kata Koes Plus dalam tembangnya ini, akan tetapi, karena setahun telah berlalu vonis dokter itu jatuh kepada cahaya hatiku. Vonis yang membuat seluruh kedirianku gamang kala itu. Tiba-tiba saja anganku melayang ke "belakang". Masih tersimpan rapi dalam memori, ketika team dokter di NUH memberikan simpulan akhir :
"Jika kretininnya stabil di level 582-700 umol/L maka kemungkinan fungsi ginjalnya masih bisa bertahan 6 bulan ke depan. Tetapi jika kreatininnya semakin naik, maka waktu untuk bertahannya pun semakin berkurang.Tidak ada lagi cara/metode lain selain cuci darah. Alternatif lain adalah transplantasi. Hati gundah dan sedih, perih dan pilu. Apakah gerangan yg dapat kulakukan?

Setahun telah berlalu.... Ya! hari ini, tepat setahun.
Secangkir teh hangat tak mampu mengusir hawa dingin, pagi ini. Aurima pun tak dapat memberiku kehangatan. Rasanya badanku semakin gemetar ketika satu per satu rangkaian peristiwa sakitnya cahaya hatiku sampai pada vonis dokter, mampir di benakku. Bak sebuah film yang berputar kembali. Slide per slide satu-satu bermunculan, menyentuh nadi hidupku. Menggigil dalam luapan rasa yang tidak terbendung.... Ketika kusadari sang Tabib yang Agung tetap berperkara dalam diri cahaya hatiku.

Trimakasih Tabibku. Aku tahu Engkau tidak tinggal diam. Kau beri waktu dan kesempatan bagi cahaya hatiku, lebih dari yang dipikirkan manusia. Menghirup nafas kehidupan, menjalani hari-hari yang Kau rajut baginya. Rasanya, naif jika aku bertanya sampai kapan? Sebab itu adalah hak dan wewenangMU. Yang ku amini dan ku imani ialah bahwa Engkau turut bekerja dan berp[erkara untuk mendatangkan kebaikan bagi cahaya hatiku.

~ Sang Penjaga


Sore itu, angin bertiup agak kencang. Kilat menyambar-nyambar di tengah gelegar sang guntur. Kulirik jam tanganku, astaga, hampir magrib. Kupercepat ayun langkahku. Sebentar lagi aku akan melewati pohon itu. Degup jantungku kian terasa, darahku berdesir dan seluruh bulu kudukku berdiri. Aku merinding. Memang bukan rahasia umum lagi tentang keberadaan pohon itu. Sebenarnya pohonnya sendiri tidaklah masalah. Hanyalah sebatang pohon sukun yamng sudah tua. Tetapi cerita yang berkembang di seputar pohon itu, tak ayal membuat aku ketar-ketir.


Maklum saja, menurut bisik-bisik tetangga, konon pohon itu terkenal angker. Banyak penjaga di sekelilingnya. Makhluk-makhluk halus sejenis tuyul, kuntilanak, jin, wewe gombel dan lain-lain berkeliaran di tempat itu. Mungkin karena tumbuhnya di lokasi ex BKIA, maka makin berkembanglah ceritanya. Masih kata mereka, yang banyak "berkeliaran" di seputar pohon itu adalah kuntilanak yang berwujud seorang ibu (iiiihhhhh...). Kadang-kadang pula terdengar tangisan bayi atau seorang wanita yang terisak-isak, walau tak ada siapa-siapa di sana.


Kutatap ke atas, mega hitam, kian menggelayut, seakan tak kuat lagi menyanggah tubuhnya. Sepertinya, ia ingin segera menghempaskannya ke mayapada ini, agar bebannya menjadi ringan. Sang dewi malampun tak mau menampakkan paras eloknya. Kuayunkan langkahku secepat aku bisa. Upss, akhirnya tiba juga di rumah. Aku menghembuskan nafasku kuat-kuat. Seakan-akan dengan melakukan itu, beban ketakutannku turut terhembus.


Di luar sana, desiran angin kian kencang; ditingkahi kilatan kilat yang menyambar-nyambar. Dan byuuurr.... hujanpun turun dengan derasnya. Aku meneguk segelas air hangat. Gluk...gluk...gluk..., ah, tubuhku kembali menghangat. Ketakutan-ketakutanku, pulih sudah. Bayangan sang penjaga perlahan-lahan berlalu.


Peristiwa ini, hanyalah cerita masa kecilku 25 tahun yang lalu di kampung halamanku. Sebuah kota kecil di atas ketinggian.
Sekarang, jika aku berjalan melewati pohon itu, aku tak takut lagi. Bukan karena aku sudah "besar" dan tinggal di kota pula, namun karena penjaga-penjaganya sekarang sudah semakin hebat. Jika dulu dalam benakku, penjaga-penjaga itu bertampang sangar dan mengerikan, maka sekarang tampang-tampang mereka justru keren habis. Pintar-pintar pula. Menebar pesona, kepada siapa saja yang melewatinya. Dengan senyuman khas masing-masing, mereka betah menjadi sang penjaga. Ya... senyum-senyum calon legislatif.

Tetapi itu tidak penting bagiku. Yang lebih penting dan lebih utama, mengapa sekarang aku tak takut lagi ketika berjalan melewati rindang dan lebatnya ataupun kering dan kerontangnya "pepohonan hidup" ini. Karena aku mempunyai "Penjagaku" sendiri. Aku tahu, Ia takkan membiarkan kakiku goyah, dan Iapun tidak akan terlelap menjagaiku. Ia setia menjaga keluar masukku dari sekarang sampai selama-lamanya (Mazmur 121 :1-8). Trimakasih "Sang Penjagaku." Amin

~ Pesan dalam Pesan

Pesan dalam pesan. Kupikir judul ini tepat untuk menggambarkan proses terjadinya penyampaian pesan antara aku dan Salce. Soalnya pesan inipun diforward kawannya dari kawannya kawannya, yang juga diterima dari kawannya kawannya dan kawannya kawannya (eh... koq banyak banget ya). Tetapi siapapun sumber utamanya, aku bersyukur dan berterima kasih bisa membacanya pula. Rasanya gak adil klo berhentinya di aku saja, maka kuteruskan isi pesan itu melalui blog ini. Kiranya anda sebagai komunikan saat ini, menangkap pula makna yang terkandung di dalamnya agar proses komunikasi disebutberhasil. Selamat merenung.!

SEMENIT SAJA
Betapa besarnya nilai uang kertas Rp.100.000 bila dibawa ke Gereja sebagai persembahan ; namun betapa kecilnya jika itu, dibawa ke Mall untuk dibelanjakan
Betapa lamanya melayani Allah selama lima belas menit, namun betapa singkatnya kalau untuk menonton film.

Betapa sulitnya mencari kata-kata ketika berdoa (spontan), namun betapa mudahnya kalau mengobrol atau bergosip dengan pacar / teman tanpa harus berpikir panjang-panjang.

Betapa asyiknya apabila pertandingan bola diperpanjang waktunya ekstra, namun ketika khotbah di Gereja lebih lama sedikit daripada biasa kita justru mengeluh.

Betapa sulitnya untuk membaca satu ayat Kitrab Suci, tapi betapa mudahnya membaca 100 halaman dari novel yang laris.

Betapa getolnya orang untuk duduk di depan dalam pertandingan atau konser, namun ketika berada di Gerejalebih senang berada di kursi paling belakang.

Betapa mudahnya membuat 40 tahun dosa demi memuaskan nafsu birahi semata, namun alangkah sulitnya ketika menahan nafsu selama 3 hari untuk berpuasa.

Betapa sulitnya menyediakan waktu untuk ibadah; namun betapa mudahnya menyesuaikan waktu dalam sekejap pada saat terakhir untuk event yang menyenangkan.

Betapa sulitnya untuk mempelajari arti yang terkandung di dalam Kitab Suci ; namun
betapa mudahnya mengulang-ulang gosip yang sama kepada orang lain.

Betapa mudahnya kita mempercayai apa yang dikatakan oleh koran, namun betapa seringnya kita meragukan apa yang dikatakan oleh Kitab Suci.

Betapa setiap orang ingin masuk sorga andai tak perlu untuk percaya atau berpikir, atau mengatakan apa-apa, atau berbuat apa-apa.

Betapa kita dapat menyebarkan seribu lelucon melalui e-mail, dan menyebarluaskannya dengan FORWARD seperti api; namun betapa seringnya kita ragu-ragu, enggan membukanya dan mensharingkannya, serta langsung klik pada icon DELETE kalau ada mail yang isinya tentang Kerajaan Allah.

ANDA TERTAWA ...? atau ANDA BERPIKIR-PIKIR. ..? RENUNGKANLAH!

~ Arah

By: Titi Yuliaty Mangape

Beberapa hari yang lalu, ketika sedang berada di Jakarta aku berencana membeli beberapa buah buku. Selain untuk memenuhi banyak tugas juga untuk menambah koleksi bacaan. Dikarenakan aku orang kampung yang tidak tahu jalan di ibu kota, peta pun tak punya, maka tak ada cara lain, aku harus minta tolong kepada seorang sahabat untuk menjadi pemandu.

Berhubung sahabatku ini agak aneh, ketika pertama kali aku minta kesediaannya untuk mengarahkanku dan memberiku alamat lengkap toko buku yang kumaksud, dia malah berkata "Tak tahulah awak..... bla, bla, bla,..."
Lho!? Ya iyalah! Masakan aku tanya klo aku tahu. Dasar belenk. (Aku ngedumel dalam hati)
Beruntung keesokan harinya, mungkin karena suasana hatinya lagi baik (ssstttt, rada-rada tendensius nih), ketika aku minta dipandu lagi dari tempatku menginap, ia langsung bersedia mengarahkanku ke mana aku harus jalan dan melalui jalan2 apa saja hingga aku bisa tiba di Toko Buku yang dimaksud .

Aku tidak tahu apakah sopir taxi yang mengantarku, mengikuti arah jalan berdasarkan panduan sahabatku itu, ataukah ia sendiri punya route yang tetap, yg pasti aku bisa tiba di tujuan dengan selamat dan boleh pulang membawa beberapa buku.

Berbicara soal arah, seringkali sebagai orang Kristen kitapun tidak tahu arah dalam hidup kekristenan kita. Atau mungkin pula kita tahu tetapi pura-pura tidak tahu. Padahal tdk terlalu sukar untuk mencarinya, tidak terlalu sulit untuk menemukannya. Asal saja kita mau, asal saja ada komitmen. "Peta" itu sudah ada di tangan kita. Untuk sampai di tujuan, kita tinggal membukanya, mempelajarinya dan mengikutinya. Tak perlu ngedumel dalam hati, tak perlu ragu-ragu. Berjalanlah mengikuti petunjuk itu. Niscaya anda akan sampai di tujuan dengan selamat.

~ 'Transport'

By : Titi Yuliaty Mangape

Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, transport artinya angkutan. Maka ketika seseorang bertanya: "Berapa ongkos transport barang-barang itu?" Maka pastilah yang dimaksud adalah biaya angkutan barang-barang itu. Tetapi entah mengapa, ketika kata ini mulai diadopsi oleh aktivis-aktivis gereja, terjadilah pergeseran makna.

Memang banyak kesimpangsiuran di seputar hal itu, akan tetapi dominan orang memaknainya sebagai "pengganti lelah" atau "ongkos capek." Walaupun masih ada beberapa yang mengartikannya betul-betul sebagai pengganti ongkos dari transportasi (angkutan) yang digunakannya dalam pelayanan, entah ketika memimpin ibadah, mengantar kelompok pelawat saat lawatan dll. Kelompok terakhir ini, biasanya mengembalikan uang yang masih tersisa dari ongkos transport tersebut ke dalam kas. Akan tetapi ada pula yang memaknainya sebagai bentuk ungkapan terimakasih atas setiap pelayanan; sehingga lebih atau kurang, sama saja-Terimakasih. Apapun pengertiannya, yang pasti UUD (Ujung-ujungnya Duit).

Karena pergeseran makna ini, maka tidak heran jika dalam setiap rapat RAPBJ di awal tahun, masalah transport ini selalu menyita banyak waktu, banyak perhatian dan banjir interupsi. Kerancuan pemahaman dan ketidaksamaan persepsi, kian memperumit. Akibatnya, pengesahan RAPBJ seringkali berlarut-larut, molor,menyita waktu berhari-hari dan amat sangat melelahkan.

Berbicara di seputar "transport" ini, memang rada-rada pelik. Ada orang yang memasang tarif pelayanannya. Jika tarif itu tdk mampu dijangkau, maka pelayanan pun batal demi tarif.
Pernah terjadi, seorang pelayan yang memimpin sebuah acara KKR, mengembalikan kembali "transport" yang diterimanya. Bukan sebagai wujud simpati atau kepedulian kepada warga jemaat yang dilayaninya yang nota bene sumber pendapatannya sangat rendah alias miskin, melainkan karena nilai "transportnya" itu kurang (menurutnya), sehingga perlu ditambah sebelum diserahkan kembali kepadanya.
Aku pun pernah merelakan gajiku dipotong sebagian, untuk menomboki "transport" atau lebih tepatnya ongkos cuap-cuap 2 sesi, bagi sahabatku yang menjadi nara sumber, dalam seminar sehari yang dilaksanakan di tempatku beberapa waktu yang lalu.

Banyak yang kecewa, ketika menerima "transport" yang tidak sebanding/sesuai (menurutnya) dengan apa yang sudah dilakukannya. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang tetap tersenyum kala mereka diberi "transport" dalam ungkapan kata terimakasih yang tulus dari orang-orang yang dilayaninya. Pun ketika mereka pulang dengan sanglampa pa'piong saja.

Dilematis memang, dalam memaknai "transport" ini. Sebab jika semua sudah dihitung-hitung dari seberapa banyak rupiah yang mengalir ke dalam kantong kita, apakah lagi makna pelayanan itu. Padahal Tuhan Yesus bersabda: "Carilah dahulu kerajaan Allah, maka semuanya akan ditambahkan padamu....." Tetapi jangan pula pelayanan jadi terbengkalai karena ongkos angkutan tidak ada.

Tak dapat dipungkiri jikalau"transport" memang perlu (dan juga penting), akan tetapi sekiranya mungkin, janganlah itu menjadi "batu penghalang" dalam melayani. Sebab jika pelayanan sudah diukur dari seberapa banyak "transport", maka terbengkalailah jiwa-jiwa yang merindukan pelayanan itu, namun tidak mampu memberi "transport" yang sesuai. Karena itu, dibutuhkan kepekaan dari setiap yang terlibat di dalamnya, baik para pelayan pun para terlayan. Semoga kasihNya tidak menyurutkan kita dalam melayani Dia hanya karena persoalan "transport" semata. Asa.


Sanglampa pa'piong adalah satu ruas batang bambu yang beirisi irisan daging atau ikan, daun mayana dan lain-lain dan dimasak dengan cara "dipanggang". Merupakan makanan khas dari kampungku.

~ "Kopi Tiam"

By : Titi Yuliaty

Menunggu result dari Mr. TB yang berjam-jam lamanya sangatlah membosankan bagiku. Untuk menghilangkan rasa jenuh ini, tempat favorit yang selalu yang selalu kukunjungi adalah bangku taman NUH dan food court Kopi Tiam.
Di bangku taman, aku bisa menghirup udara dan bau segar kembang. Mendengarkan gemerisik dedaunan yang bergoyang meliuk-liuk dihembus angin semilir. Laksana symponi yang indah mengalun dalam kalbu tatkala ditimpahi cicit burung yang berterbangan dengan bebasnya, tanpa merasa takut dikejar-kejar manusia. Aku teringat kata captku,” burung-burung dan tumbuhan pun merasa aman di sini, apalagi manusia.” Terkadang aku berkhayal, andai manusia bisa “bebas” berekspressi seperti mereka.

Di food court Kopi Tiam, aku bisamenyaksikan banyak hal. Sembari menikmati sajian khas breakfast Singapore yakni secangkir kopi hitam, 2 btr telur setengah matang dan setangkup roti bakar yang diisi selai kaya, aku bisa menarik pembelajaran berharga menyangkut Human Relation.

Suatu ketika aku menyaksikan hubungan kasih yang luar biasa antara saudara bersaudara di usia senja. Kupikir keduanya pastilah single parent. Beberapa kali aku berjumpa dengan mereka. Si sakit biasanya duduk dengan kursi rodanya di depan meja makan, sedangkan si abang antri untuk membelikan makanan kesukaan sang adik. Memotivasi dan saling menguatkan serta menghiburkan di usia senja, itulah pembelajaran berharga yang bisa kupetik dari mereka.

Kali lain, aku melihat seorang ibu bersama putranya yang duduk dalam kereta dorongnya, tak bisa bergerak jikalau tidak dibantu (sangat banyak keterbatasan fisiknya), namun dengan penuh cinta dan kasih si ibu tetap tersenyum, menyapa dan mengajaknya bercanda. Si anak menyambutnya dengan senyum dan gumaman yang tidak jelas. Aku tahu lewat sorot matanya, si ibu menahan kepedihan yang luar biasa, akan tetapi demi si buah hati, dikuat-kuatkannya dirinya agar tidak "ambruk". Betul kata pepatah “Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang penggala.” Aku terpekur.

Hari ini, aku kembali menyaksikan hubungan cinta kasih 2 sejoli di masa tuanya. Si istri didorong suaminya di kursi rodanya, disuapinya dengan penuh kasih. Jika masih ada makanan yang tersisah, dengan lahap sang suami menghabiskannya. Akh, hubungan yang indah sampai kakek-nenek. Kuberharap kelak jika Tuhan berkenan memberiku usia seperti mereka, captku pun kan melakukan hal yang sama. Kutinggalkan tempat ini dengan seulas senyum dan setumpuk pembelajaran berharga.
Selalu ada asa.

Oh ya, satu hal lagi yang hampir kulupakan, rasa saling menghargai di tempat ini amatlah tinggi. Ketika “berbelanja”, setiap orang entah dokter, perawat, tukang taman, petinggi atau pengunjung lainnya akan tertib mengantri, menunggu giliran. Tak ada saling dorong- mendorong, sikut sana, sikut sini apalagi yang menerobos. Semua tertib, aman dan lancar. Pemandangan yang jarang kusaksikan di "tempatku".

~ 'Bercermin' diri

By : Titi Yuliaty M.

Sepekan sudah aku menemani cahaya hatiku makan siang di canteen sekolahnya. Setiap hari selalu ada yang baru. Kebersamaan dan kepedulian antar teman-teman kelasnya selalu kusaksikan. Suatu kali, kala mereka sedang makan siang, ada yang bertanya: "Ai boleh nggak Maganta minum ini." (sambil memperlihatkan sebotol yakult). Dengan halus kutolak pemberianya dan kukatakan padanya kalau cahaya hatiku tidak bisa meminumnya karena menu dietnya sudah diatur. Di lain waktu seorang teman perempuannya membawakanku dedaunan, katanya:" Ini obat ginjal Ai, direbus dengan air dan air rebusannya itu diminum. Mamaku biasa minum. Kalau masih ada yang sisa bisa disimpan di kulkas. Mudah-mudahan Maganta cepat sembuh ya Ai." dengan terharu aku menerimanya sembari mengucapkan terimakasih

Kali lain, seorang kawannya nyeletuk,: "Saya kasihan sama tante, harus bolak-balik mengantar Maganta berobat, tentu tante capek ya. Saya selalu berdoa untuk kesembuhan Maganta, yang sabar ya tante." Aku terdiam mendengarnya. Kucoba menahan air mata keharuan dan kuucapkan terimakasih sambil mengusap-usap kepalanya

Setiap pola tingkah laku mereka tak luput dari pengamatanku. Aku merenungkan, bagaimana respon, empati dan simpati yang ditunjukkan kepada cahaya hatiku, seorang teman, seorang sahabat bagi mereka. Mungkin tak terucap lewat kata tetapi terpikir. Dalam hati sanubari, mereka berkata "Kami pun merasakan penderitaanmu, sahabat." Suatu kepedulian yang luar biasa. Tak ada kemunafikan, tak ada kebohongan, tak ada sinisme tak ada kecemburuan.
Dalam keluguan kanak-kanak, kepedulian dan cinta kasih mereka amatlah tulus, polos tanpa "embel-embel". Tanpa tendensi.

Aku berpikir, seandainya orang dewasa dapat bercermin diri kepada kanak-kanak seperti ini, akh, betapa indah dan damainya dunia. Kuaminkan kata Tuhanku: "Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepadaKu sebab orang-orang seperti itulah yang empunya Kerajaan Surga." (Matius 19:14). Kutinggalkan ruang canteen mereka, dengan sejuta asa.
*Ai adalah sapaan mereka untukku yang artinya = tante

~ "Uniform 2"

Titi Mangape

Mungkin ada benarnya jika dikatakan bahwa dengan menggunakan pakaian seragam (corak, bentuk dan susunan model dan bahan yang sama), akan nampak kebersamaan dalam satu persekutuan dari kota sampai ke pelosok. Persoalan ialah apakah kebersamaan hanya bisa terlihat dari pakaian seragam semata? Sehingga jikalau ada yang berbeda mereka dianggap “berseberangan” atau bahkan menjadi “musuh”bagi kita? Apakah tolok ukur iman seseorang dapat dinilai dari pakaian seragam? Apakah pakaian seragam sudah menjadi parameter iman bagi orang lain?

Bersama dengan seorang sahabat, kami pernah menuai protes keras dari berbagai kalangan, tidak terkecuali para “pengambil kebijakan” hanya karena perbedaan persepsi terhadap pakaian seragam dan ketidaksetujuan kami dengan pengadaan pakaian seragam yang beraneka macam itu.

Bagi saya secara pribadi, perbedaan semestinya dianggap sebagai hasil dari keragaman dan kepelbagaian kita sebagai individu yang pasti selalu unik. Baik dari segi penampilan, dalam berpendapat, dalam beriskap dan lain-lain. Sebab tidak seorangpun di dunia ini (termasuk saudara kembar) yang sama. Justru dalam keragaman dan keunikan masing-masing individu itulah, akan nampak kekuatan “besar” jikalau dapat ditata dengan baik. Tanpa pakaian seragam sekalipun.

Jika kita pahami dengan sungguh bahwa persekutuan umat adalah milik kepunyaanNya dan kita yang lemah dan berdosa ini hanyalah alatNya, maka pakaian seragam bukanlah prioritas utama dalam mengemban tanggung jawab tri panggilan gereja yakni bersaksi, bersekutu dan melayani.

~ "Uniform 1"

Titi Mangape


Kali-kali aja ada yang baca judul ini langsung berpikiran, sejak kapan saya pintar memakai bahasa sono hehehehe. Tapi yang mau saya ungkapkan di sini memang soal “seragam” yang lebih mengarah ke busana/pakaian.

Dulu waktu masih kecil, senang benar melihat orang berpakaian seragam. Bangga rasanya memakai pakaian itu. Dari pakaian putih-merah, putih-biru n putih abu-abu. Saat ibu saya memakai pakaian dinasnya, baik di kantor maupun sebagai anggota PKK dan Dasa Wisma(waktu itu), selalu ada kebanggan tersendiri dalam diri saya. Menarik, sebab kita dapat dengan mudah menebak orang-orang itu bekerja di instansi mana dengan melihat busana yang mereka kenakan. Gampang menerka dari kelompok/kampung mana jika ada hajatan besar dilakukan di ibukota kabupaten seperti tujuhbelasan atau ulang tahun kabupaten. Seragam digunakan sebatas “identitas” instantsi atau kelompok. Supaya lebih mudah dikenal. (Apalagi kalau "hilang" di tengah keramaian, lebih mudah menemukannnya). Demikian pula jika tim seperti tim penggerak PKK kabupaten “turba” alias turun ke bawah- ke pelosok-pelosok, akan lebih mudah mengenalnya dari seragam mereka. Tetapi itu dulu.

Sekarang, setelah kecenderungan itu juga merambah masuk ke dalam gereja, kebanggan masa kecil saya menjadi sirnah, seiring dengan bergesernya paradigma masyarakat (tidak terkecuali masyarakat gereja) terhadap makna pakaian seragam itu. Jika dahulu ada perasaan bangga melihat orang-orang memakai pakaian seragam, saat ini, hati justru menjadi miris. Seragam yang semula dimaksudkan sebagai bentuk kebersamaan, atau “identitas” , kini justru semakin menampakkan kesenjangan antar sesama anggota persekutuan. Bagi yang “berpunya” tentu tidak masalah membeli seragam berpasang-pasang. Akan tetapi bagi yang “tidak berpunya “ atau “pas-pasan”, hal ini pastilah memberatkan, bahkan bisa menjadi batu sandungan. Sayangnya kelompok kedua inilah yang lebih banyak terlibat.

Akibatnya, banyak orang yang tidak lagi mau tampil memuji Tuhan melalui Paduan Suara atau Vokal Group. Alasannya, “Kami tidak punya baju seragam”
Dalam suatu percakapan dengan seorang ibu di suatu ibadah natal, ia berkata, “Saya tidak mau ke depan membawa persembahan saya karena warna pakaian seragam yang saya pakai berbeda dengan warna pakaian seragama yang dipakai saat ini.”
Di waktu lain ketika saya bertemu dengan beberapa ibu dan bertanya mengapa mereka tidak hadir dalam ibadah, jawab mereka:“Karena kami tidak punya pakaian seragam.” Saat saya bertanya: "Mengapa tidak dibuat?" Jawab mereka, "Kami tidak punya uang (lebih)."

Tidak masuk akal memang. Masakan hanya karena pakaian seragam, seseorang lalu tidak ikut beribadah, tidak mau memuji Tuhan dan tidak mau membawa persembahannya ke depan (altar)? Tetapi inilah realitas yang terjadi.
Saya lalu berpikir, jangan-jangan karena pakaian seragam, posisi “Yang Disembah” dalam hidup persekutuan ini, telah tergeser dan terpinggirkan.
Jangan-jangan karena pakaian seragam, kita sudah menjadi lebih besar dari Dia.

~Gado-gado

Titi Yuliaty Mangape


Makanan khas dari daerah Jawa ini memang selalu menggugah selerah. Apalagi klo cabe rawitnya ditambah dikit, wuihhh, enuak benar, sekalipun zzhhhh…… n keringat bercucuran saking kepedasan. Paling tidak itu yang aku rasakan. Seorang ibu di jemaat tempat aku melayani saat ini, bahkan mendapat julukan “tante gado-gado”, saking demennya pada makanan yang satu ini.
Terlepas dari itu semua, ketika di hadapanku tersaji sepiring gado-gado , pikiranku dipenuhi dengan berbagai pengandaian. Andai semua umat Tuhan memahami betapa kehadirannya laksana sepiring “gado-gado” yang lezat tatkala orang “menyantapnya”, ah….. betapa indah dan menyenangkannya.

Dengan berbagai corak dan karakter. Dengan berbagai warna dan warni. Ada yang seperti kangkung-hijau segar, ttp cepat layu. Ada yang seperti kacang panjang yang mungkin panjang-panjang pula akalnya. Ada yang seperti touge, pendek ttp akarnya panjang menghunjam ke tanah. Ada yang seperti kerupuk saat baru selesai digoreng renyahnya bukan main, akan ttp tidak lama kemudian menjadi melempem jikalau dibiarkan di tempat terbuka hanya karena hembusan angin sepoi-sepoi. Ada yg seperti cabe rawit, kecil-kecil tetapi minta ampun pedasnya. Namun ada pula yang seperti telur , semakin lama direbus, justru semakin keras; yang semula cair, setelah melalui proses perebusan menjadi padat. banyak lagi yang lain.

Satu hal yang pasti, setelah semuanya “diramu” dan “disiram saus kacang”, luarrrr biasa nikmatnya. Perbedaan yang ada tidak lagi menjadi penghambat tetapi justru semakin menambah nikmatnya hidup persekutuan. Sebab kata orang dan juga kata saya, “berbeda itu indah”. Justru ketika perbedaan-perbedaan itu mampu dimanage dengan baik dan tepat, maka akan nampaklah kekuatan dan keindahannya.