"Pergumulan tidak akan pernah sirna, akan tetapi HARAPAN selalu menguatkan manusia untuk menata hidup yang lebih baik."

Terimakasih atas kunjungan anda.

Halaman

~ "Uniform 1"

Titi Mangape


Kali-kali aja ada yang baca judul ini langsung berpikiran, sejak kapan saya pintar memakai bahasa sono hehehehe. Tapi yang mau saya ungkapkan di sini memang soal “seragam” yang lebih mengarah ke busana/pakaian.

Dulu waktu masih kecil, senang benar melihat orang berpakaian seragam. Bangga rasanya memakai pakaian itu. Dari pakaian putih-merah, putih-biru n putih abu-abu. Saat ibu saya memakai pakaian dinasnya, baik di kantor maupun sebagai anggota PKK dan Dasa Wisma(waktu itu), selalu ada kebanggan tersendiri dalam diri saya. Menarik, sebab kita dapat dengan mudah menebak orang-orang itu bekerja di instansi mana dengan melihat busana yang mereka kenakan. Gampang menerka dari kelompok/kampung mana jika ada hajatan besar dilakukan di ibukota kabupaten seperti tujuhbelasan atau ulang tahun kabupaten. Seragam digunakan sebatas “identitas” instantsi atau kelompok. Supaya lebih mudah dikenal. (Apalagi kalau "hilang" di tengah keramaian, lebih mudah menemukannnya). Demikian pula jika tim seperti tim penggerak PKK kabupaten “turba” alias turun ke bawah- ke pelosok-pelosok, akan lebih mudah mengenalnya dari seragam mereka. Tetapi itu dulu.

Sekarang, setelah kecenderungan itu juga merambah masuk ke dalam gereja, kebanggan masa kecil saya menjadi sirnah, seiring dengan bergesernya paradigma masyarakat (tidak terkecuali masyarakat gereja) terhadap makna pakaian seragam itu. Jika dahulu ada perasaan bangga melihat orang-orang memakai pakaian seragam, saat ini, hati justru menjadi miris. Seragam yang semula dimaksudkan sebagai bentuk kebersamaan, atau “identitas” , kini justru semakin menampakkan kesenjangan antar sesama anggota persekutuan. Bagi yang “berpunya” tentu tidak masalah membeli seragam berpasang-pasang. Akan tetapi bagi yang “tidak berpunya “ atau “pas-pasan”, hal ini pastilah memberatkan, bahkan bisa menjadi batu sandungan. Sayangnya kelompok kedua inilah yang lebih banyak terlibat.

Akibatnya, banyak orang yang tidak lagi mau tampil memuji Tuhan melalui Paduan Suara atau Vokal Group. Alasannya, “Kami tidak punya baju seragam”
Dalam suatu percakapan dengan seorang ibu di suatu ibadah natal, ia berkata, “Saya tidak mau ke depan membawa persembahan saya karena warna pakaian seragam yang saya pakai berbeda dengan warna pakaian seragama yang dipakai saat ini.”
Di waktu lain ketika saya bertemu dengan beberapa ibu dan bertanya mengapa mereka tidak hadir dalam ibadah, jawab mereka:“Karena kami tidak punya pakaian seragam.” Saat saya bertanya: "Mengapa tidak dibuat?" Jawab mereka, "Kami tidak punya uang (lebih)."

Tidak masuk akal memang. Masakan hanya karena pakaian seragam, seseorang lalu tidak ikut beribadah, tidak mau memuji Tuhan dan tidak mau membawa persembahannya ke depan (altar)? Tetapi inilah realitas yang terjadi.
Saya lalu berpikir, jangan-jangan karena pakaian seragam, posisi “Yang Disembah” dalam hidup persekutuan ini, telah tergeser dan terpinggirkan.
Jangan-jangan karena pakaian seragam, kita sudah menjadi lebih besar dari Dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar